“Deposito itu passive income, uang bekerja sendiri tanpa repot!”
Kalimat ini sering terdengar dari para agen bank atau influencer finansial.
Namun benarkah deposito memberikan passive income murni seperti yang dijanjikan?
Setelah mendalami mekanisme deposito dan menganalisis data historis, faktanya tidak sesederhana itu.
Memahami Passive Income vs Realita Deposito
Passive income sejati memiliki tiga karakteristik utama: minim effort setelah setup awal, bisa di-scale, dan menghasilkan recurring income tanpa keterlibatan aktif.
Deposito memang terlihat memenuhi kriteria ini.
Deponesia cukup menempatkan dana, lalu bunga mengalir otomatis setiap jatuh tempo.
Tapi tunggu dulu.
Kenyataannya, deposito membutuhkan serangkaian keputusan aktif yang jarang dibahas bank.
Fakta #1: Deposito Butuh Pengelolaan Aktif
Saat jatuh tempo, Deponesia dihadapkan pada pilihan krusial: aktifkan Automatic Roll Over (ARO) atau cairkan dana?
Memilih ARO berarti dana otomatis diperpanjang dengan tenor sama.
Kedengarannya praktis, tapi apakah bunga masih kompetitif?
Bank lain mungkin menawarkan rate lebih tinggi 0.5-1% yang dalam jangka panjang bisa berdampak signifikan.
Misalnya deposito Rp 100 juta dengan bunga 5.5% menghasilkan Rp 5.5 juta per tahun.
Bandingkan jika Deponesia aktif mencari bank dengan bunga 6.5%, selisih Rp 1 juta per tahun atau Rp 10 juta dalam dekade.
Ini bukan passive income sejati karena memerlukan monitoring berkala dan keputusan strategis.
Fakta #2: Pajak 20% Memangkas Passive Income Drastis
Inilah yang jarang dijelaskan di brosur bank: setiap bunga deposito di atas Rp 7.5 juta kena potongan PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 20%.
Langsung dipotong bank sebelum masuk rekening Deponesia.
Mari hitung riilnya.
Deposito Rp 100 juta dengan bunga 6% per tahun menghasilkan gross income Rp 6 juta.
Setelah pajak 20% (Rp 1.2 juta), net income tinggal Rp 4.8 juta.
Return riil hanya 4.8%, bukan 6% seperti yang tertera di spanduk bank.
Untuk deposito Rp 50 juta dengan bunga 5.5%, gross income Rp 2.75 juta dipangkas pajak Rp 550 ribu menjadi nett Rp 2.2 juta saja.
Passive income yang sebenarnya jauh lebih kecil dari ekspektasi awal.
Fakta #3: Inflasi Menggerus Nilai Riil Uang Deponesia
Data 10 tahun terakhir dari PT Bahana TCW Investment Management mengungkap fakta mengejutkan.
Total bunga deposito hanya 59.2% atau rata-rata 4.6% per tahun.
Sementara inflasi kumulatif mencapai 76.4% dalam periode sama.
Artinya daya beli uang Deponesia justru turun meskipun nominal bertambah.
Lebih parah lagi untuk inflasi pangan yang menyentuh 141%.
Konsep ini disebut “real return” – keuntungan setelah memperhitungkan inflasi.
Formula sederhananya: Real Return = Nominal Return – Inflasi.
Jika bunga deposito nett 4.8% dikurangi inflasi 3.5%, real return hanya 1.3% per tahun.
Uang Rp 100 juta hari ini dengan pertumbuhan 1.3% per tahun butuh 54 tahun untuk menjadi Rp 200 juta dalam nilai riil.
Fakta #4: Deposito Bukan untuk Melipatgandakan Kekayaan
Menggunakan Rule of 72 (membagi 72 dengan persentase return tahunan), kita bisa menghitung kapan modal berganda.
Dengan bunga deposito nett 4.8%, butuh 15 tahun agar Rp 100 juta menjadi Rp 200 juta.
Bandingkan dengan saham yang historis memberikan return 15% per tahun – hanya butuh 4.8 tahun untuk double.
Data menunjukkan dalam 10 tahun terakhir, saham memberikan total return 249.6%, obligasi negara 150-180%, sementara deposito cuma 59.2%.
Volatilitas deposito memang paling stabil (standar deviasi 0.3% vs saham 21.5%), tapi growth potential-nya terbatas.
Deposito cocok untuk preservasi modal, bukan wealth creation.
Fakta #5: Opportunity Cost yang Tersembunyi
Setiap rupiah di deposito berarti kehilangan peluang pertumbuhan dari instrumen lain.
Ini disebut opportunity cost.
Simulasi sederhana: Rp 100 juta full deposito selama 5 tahun dengan bunga nett 4.8% menghasilkan total Rp 126.5 juta.
Bandingkan portofolio hybrid: 40% deposito, 30% obligasi negara (yield 6.5%), 30% reksa dana saham (return 12%).
Blended return mencapai 7.5% per tahun atau total Rp 143.5 juta dalam 5 tahun.
Selisih Rp 17 juta adalah opportunity cost dari strategi all-in deposito.
Kapan Deposito Tepat sebagai Passive Income?
Bukan berarti deposito buruk.
Deposito sangat cocok untuk investor konservatif, dana darurat, atau saving goal jangka pendek 1-2 tahun.
Juga ideal sebagai bagian portofolio diversifikasi, bukan satu-satunya aset.
Untuk memaksimalkan deposito, gunakan teknik laddering: bagi dana ke beberapa tenor berbeda (3, 6, 12 bulan) agar punya akses likuiditas berkala sambil tetap dapat bunga optimal.
Bandingkan bunga minimal 3 bank setiap rollover.
Pertimbangkan obligasi negara (SBN) dengan yield 6-7% dan dijamin pemerintah sebagai alternatif lebih menguntungkan.
Atau reksa dana pasar uang yang lebih likuid dengan potensi return 6-7% tanpa terikat tenor.
Deposito adalah “Semi-Passive Income”
Jadi, apakah investasi deposito adalah passive income?
Jawabannya: Ya, tapi dengan banyak catatan.
Deposito lebih tepat disebut “semi-passive income” karena butuh pengelolaan aktif berkala, terpangkas pajak 20%, tergerus inflasi, dan memiliki opportunity cost signifikan.
Deposito excellent untuk stabilitas dan preservasi modal jangka pendek, namun bukan strategi optimal untuk wealth creation jangka panjang.
Kunci sukses: jangan jadikan deposito satu-satunya sumber passive income.
Kombinasikan dengan instrumen lain sesuai profil risiko dan tujuan finansial Deponesia.
Passive income sejati tercipta dari portofolio terdiversifikasi, bukan dari satu instrumen saja.
Saatnya Deponesia evaluasi ulang strategi investasi – apakah deposito masih relevan dengan goals finansial jangka panjang?

Seorang SEO Specialist yang fokus pada technical SEO dan Content Writing. Menyukai hal baru dalam dunia digital marketing dan selalu berusaha berkembang serta belajar setiap harinya.