JAKARTA – Polemik dana Pemerintah Provinsi Jawa Barat senilai Rp4,1 triliun yang disebut mengendap di perbankan memicu perdebatan publik tentang batasan hukum pengelolaan kas daerah. Kontroversi ini mencuat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan ada 15 pemerintah daerah yang menempatkan dana kasnya di bank, termasuk Pemprov Jabar dengan nilai Rp4,17 triliun.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membantah keras pernyataan tersebut setelah mendatangi Bank Indonesia, menegaskan bahwa dana kas daerah per 30 September 2025 tercatat Rp3,8 triliun dalam bentuk giro, bukan deposito. Sisanya adalah deposito BLUD yang dikelola secara mandiri di luar kas pemerintah provinsi.
Gray Area dalam Regulasi
Kontroversi ini mengangkat pertanyaan mendasar: bolehkah pemerintah daerah menempatkan dana APBD dalam deposito?
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 131 menyebutkan bahwa dalam rangka manajemen kas, pemerintah daerah dapat mendepositokan dan/atau melakukan investasi jangka pendek atas uang milik daerah yang sementara belum digunakan.
Namun, ada syarat ketat: sepanjang tidak mengganggu likuiditas keuangan daerah, tugas daerah, dan kualitas pelayanan publik. Deposito dan investasi jangka pendek tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Daerah paling lambat per 31 Desember.
Deposito On Call: Solusi atau Celah?
Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa berdasarkan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan, uang kas daerah dapat disimpan di bank dalam bentuk deposito on call yang dapat ditarik setiap saat apabila dibutuhkan.
Sekretaris BPKAD Jabar Junaedi menegaskan penyimpanan dana APBD dalam deposito di Bank bjb sudah sesuai peraturan dan setiap tahun diaudit BPK tanpa ada temuan. Hasil deposito pun masuk ke kas daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah, bukan gratifikasi.
Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syafruddin menjelaskan bahwa pemda yang mendepositokan dananya biasanya hanya menunggu penggunaannya yang sifatnya on call sehingga dapat dicairkan sewaktu-waktu.
Risiko Penyalahgunaan dan Implikasi Hukum
Meski legal, praktik deposito kas daerah menyimpan potensi risiko. Jika penempatan dana tidak didasarkan pada kebutuhan kas melainkan kepentingan mencari keuntungan atau menahan realisasi belanja, hal itu melanggar asas kepatutan, akuntabilitas, dan efisiensi sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003.
Pejabat yang dengan sengaja menahan dana publik untuk memperoleh bunga dapat dianggap melanggar asas penyelenggaraan negara yang bersih dan berpotensi masuk ke wilayah tindak pidana korupsi pasif jika ada unsur keuntungan pribadi.
Bila pemda sengaja menunda pencairan anggaran agar dananya bisa didepositokan, hal itu bisa menjadi temuan BPK dan mempengaruhi opini laporan keuangan pemda yang bersangkutan.
Paradoks Fiskal Daerah
Total dana daerah yang mengendap di bank mencapai Rp234 triliun berdasarkan data BI per 15 Oktober 2025, terdiri dari simpanan pemkab Rp134,2 triliun, pemprov Rp60,2 triliun, dan pemkot Rp39,5 triliun.
Fenomena ini menciptakan paradoks: di saat banyak kepala daerah mengeluh kekurangan anggaran dan meminta tambahan dana transfer dari pusat, di sisi lain kas daerah justru tertimbun di bank sambil menghasilkan bunga.
Sekda Provinsi Jatim Adhy Karyono menjelaskan dana kas daerah terlihat besar karena berasal dari sisa lebih perhitungan anggaran 2024 yang baru bisa dialokasikan setelah audit BPK dan Perda Pertanggungjawaban APBD disetujui melalui mekanisme Perubahan APBD 2025.
Transparansi dan Akuntabilitas
Dedi Mulyadi menyatakan posisi kas daerah bersifat fluktuatif dan terus bergerak sesuai kebutuhan belanja daerah, dengan jumlah yang berubah setiap hari.
Per 22 Oktober 2025, dana kas Jabar tercatat Rp2,6 triliun, sesuai data Kemendagri.
Kasus ini menegaskan pentingnya transparansi real-time dalam pengelolaan keuangan daerah.
Perbedaan data antara Kemenkeu, BI, Kemendagri, dan pemda menunjukkan masih lemahnya sistem pelaporan dan monitoring terintegrasi.
Kesimpulan
Menempatkan kas daerah dalam deposito secara hukum diperbolehkan dengan syarat ketat: harus berbentuk deposito on call, tidak mengganggu likuiditas dan pelayanan publik, serta semata untuk optimalisasi manajemen kas—bukan mengejar keuntungan bunga.
Yang menjadi masalah adalah ketika dana daerah sengaja ditahan untuk mendapatkan imbal hasil, sementara program pembangunan dan kesejahteraan publik tertunda.
Dalam konteks ini, legal bukan berarti etis—dan masyarakat berhak menuntut transparansi penuh atas setiap rupiah uang rakyat.
Sumber:
- https://koran-jakarta.com/2025-10-22/kdm-vs-purbaya-dedi-mulyadi-tegaskan-tidak-ada-dana-apbd-jabar-rp41-triliun-yang-mengendap-di-deposito
- https://economy.okezone.com/read/2025/10/22/320/3178392/jawab-dedi-mulyadi-soal-uang-rp4-1-triliun-mengendap-di-bank-purbaya-periksa-saja-sendiri
- https://news.republika.co.id/berita/t4ixcq377/usai-sambangi-kemendagri-dedi-mulyadi-tetap-bantah-menkeu-ada-dana-rp-41-triliun-mengendap-di-bank
- https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5726823/pantas-numpuk-di-bank-ternyata-pemda-boleh-depositokan-uangnya-di-bank
- https://katadata.co.id/marthathertina/berita/5e9a55e65ce88/fenomena-deposito-pemda-ini-tanggapan-kemendagri
- https://pertiba.ac.id/2025/10/21/dana-daerah-di-bank-ketika-fiskal-berhenti-bunga-yang-bekerja-adakah-implikasi-hukum

Seorang SEO Specialist yang fokus pada technical SEO dan Content Writing. Menyukai hal baru dalam dunia digital marketing dan selalu berusaha berkembang serta belajar setiap harinya.





