Deposito.co.id – Tsunami pengangguran di Indonesia bukan lagi sekadar bayang-bayang statistik. Fenomena ini kini hadir sebagai realitas yang mengkhawatirkan. Istilah “tsunami pengangguran” tentu tidak hiperbolis jika melihat tren peningkatan jumlah pengangguran, terutama di kalangan lulusan pendidikan tinggi dan sekolah menengah atas dalam satu dekade terakhir.
Pernyataan ini diperkuat dengan adanya lautan manusia yang membludak dalam sebuah job fair yang digelar di salah satu universitas di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Bahkan, beberapa pelamar dilaporkan jatuh pingsan karena membludaknya peserta.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, kuota lowongan kerja di job fair tersebut hanya sekitar 3.000 lowongan, namun jumlah pelamar yang datang jauh melebihi kapasitas yang tersedia.
Daftar isi:
Dominasi Pengangguran Terdidik
Melansir data statistik BPS, pengangguran dari kalangan lulusan universitas dan SMA sederajat terus mendominasi angka pengangguran nasional. Tercatat, sebanyak 787.973 lulusan perguruan tinggi menganggur pada tahun 2023, meningkat dibandingkan tahun 2022 yang berjumlah 673.485.
Sementara itu, pengangguran lulusan SMA mencapai angka mencengangkan, yakni 2.514.481 jiwa, naik dari tahun sebelumnya. Tren historis ini menunjukkan pola yang konsisten. Meskipun sempat menurun pada 2021 dan 2022, jumlah pengangguran kembali meroket pada tahun 2023.
Lonjakan tajam juga terjadi pada masa pandemi COVID-19, tepatnya pada 2020, ketika pengangguran lulusan universitas melonjak hingga hampir satu juta orang (981.203).
Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan besar: mengapa pendidikan tinggi justru tidak menjamin karier mahasiswanya?
Ketika Gelar Tak Lagi Menjamin
Fenomena ini memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara output pendidikan dan kebutuhan pasar kerja. Banyak lulusan universitas dan SMA tidak memiliki keterampilan yang langsung aplikatif di dunia kerja, atau tidak mampu bersaing dalam sektor informal dan formal yang semakin kompetitif.
Di sisi lain, transformasi digital, otomasi, dan perubahan model bisnis turut memperkecil ceruk pekerjaan konvensional. Akibatnya, pencari kerja yang belum memiliki adaptasi keterampilan seperti reskilling dan upskilling tertinggal dalam persaingan.
Potret Ketenagakerjaan Indonesia
Berdasarkan data ketenagakerjaan terkini:
Penduduk usia kerja: 216,79 juta
Angkatan kerja aktif: 153,05 juta
Jumlah bekerja: 145,77 juta
Penganggur terbuka: 7,28 juta
Dari mereka yang bekerja:
Pekerja penuh waktu (≥35 jam/minggu): 96,48 juta
Pekerja paruh waktu (<35 jam, tidak cari kerja): 37,62 juta
Setengah pengangguran (cari pekerjaan tambahan): 11,67 juta
Ini menunjukkan bahwa pengangguran terselubung (underemployment) juga menjadi persoalan besar. Banyak individu yang secara teknis bekerja, tetapi tidak memperoleh penghasilan atau jam kerja yang layak.
Ketimpangan Gender dalam Partisipasi Kerja
Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) menunjukkan ketimpangan gender yang cukup signifikan. Data Februari 2025 menunjukkan:
TPAK laki-laki: 84,34%
TPAK perempuan: 56,70%
Total TPAK: 70,60%
Angka ini mencerminkan adanya potensi besar dari kelompok usia produktif yang belum atau tidak bisa bekerja, terutama perempuan.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Peningkatan pengangguran terdidik bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga masalah sosial dan psikologis. Lulusan universitas yang menganggur berisiko mengalami frustrasi, depresi, hingga radikalisasi sosial. Secara ekonomi, tingginya jumlah penganggur menekan daya beli dan konsumsi rumah tangga, yang merupakan pilar penting dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Negara pun menanggung beban sosial yang besar, baik melalui program bantuan maupun tantangan dalam menyerap lulusan baru yang terus bertambah setiap tahun.
Kesimpulan
Data dan fakta menunjukkan bahwa tsunami pengangguran di Indonesia adalah fenomena nyata yang memburuk dari tahun ke tahun, terutama di kalangan terdidik. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta perlu menyusun strategi kolaboratif yang konkret dan berkelanjutan.
Tanpa langkah tegas dan sistemik, tsunami pengangguran ini berpotensi menjadi penghambat utama Indonesia menuju negara maju, bahkan mengancam stabilitas sosial dan ekonomi nasional.